Kamis, 29 Januari 2009

Hunger Paradox di negeri Yavadwipa

Hendra Subiyanto, S.E
Rumah BaikHati Consultant., Pemerhati sosial dan ekonomi, tinggal di Semarang, E-Mail: rumahbaikhati@yahoo.co.id
Hunger Paradox di negeri Yavadwipa
Melambungnya harga beras dunia akan menyumbang inflasi terbesar pada tahun ini dan akan menyiksa 2,5 miliar penduduk negara berkembang yang bergantung pada beras, termasuk Indonesia. Food and Agriculture Organisation (FAO) pada tahun 2007 melaporkan bahwa pada saat ini penduduk dunia mengalami kekurangan pangan dan mengancam menurunnya tingkat kesehatan, kecerdasan, bahkan kelangsungan hidup umat manusia. FAO juga membandingkan ketersediaan pangan pada tahun 1999 dengan tahun 2006, stok pangan pada tahun 1999 mencapai 116 hari, sedangkan tahun 2006 maksimal hanya 57 hari. Jika prediksi akan kebutuhan beras global pada tahun 2025 diperkirakan 800 juta ton per tahun, sedangkan kemampuan produksi beras global kurang dari 600 juta ton per tahun, maka jelas harga komoditas beras akan makin sulit dijangkau. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan bagi Indonesia karena berbagai faktor diantaranya adalah gagal panen dibeberapa lumbung padi nasional. Mengacu laporan dari Departemen Pertanian Nasional (2008) di pulau Jawa sebagai sentra pemasok 65 persen produksi beras nasional telah mengalami gagal panen karena banjir dan banjir telah merusak tidak kurang 66.276 hektar lahan tanaman padi.
Fakta menunjukan bahwa Indonesia di tingkat dunia menempati posisi sebagai negara terbesar di dunia dalam mengkonsumsi beras, untuk tahun 2008 Perum Bulog memperkirakan kebutuhan beras nasional sejumlah 2,8 juta-3 juta ton per tahun (kompas, 24/03/08). Tingginya konsumsi beras mengakibatkan beras yang dihasilkan setiap tahun, tidak mencukupi kebutuhan nasional. Konsumsi beras yang sangat tinggi ini tanpa sadar didorong oleh usaha pemerintahan pada awal orde baru yang meninggikan gengsi beras, walau kemudian sempat dikoreksi dengan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi. Pada masa itu pemerintah mencoba mengubah pola konsumsi bahan pangan asli penduduk, misalnya jagung di Madura dan sebagian daerah di pulau Jawa, sagu di Maluku, talas dan ubi di Papua. Akibatnya, konsumsi beras per kapita terus meningkat.
Pangan Alternatif
Pemerintah bisa mengupayakan sistem ketahanan pangan (food security) yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan dan perlu mengubah paradigma bahwa beras adalah makanan utama karena Indonesia memiliki banyak sumber pangan lain. Dahulu Bung Karno kerap mengundang wartawan dan diplomat asing untuk sarapan bersama di Istana Negara dengan menu ubi dan singkong untuk membuktikan beras bukan segalanya bagi rakyat Indonesia. Sejarah juga membuktikan pulau Jawa dikenal dengan sebutan Yavadwipa berasal dari bahasa Sanskrit. Yava berarti barley. Barley merupakan sejenis bahan pangan yang bisa diproses seperti halnya beras maupun gandum. Perbandingan yang menarik mengenai barley dengan bahan pangan lain yaitu: bila kita baru merasa kenyang dengan makan 4 potong roti terigu atau 3 potong roti gandum namun dengan barley cukup 1 potong roti saja. Bahkan dahulu India pernah mengimpor barley dari Jawa ketika kelembaban di India meningkat drastis. Barley juga sangat efektif untuk mengurangi gejala rematik maupun masuk angin yang sering kali menjadi keluhan orang Indonesia. Namun karena warna barley ketika diolah menjadi roti tidak seputih bahan dari terigu dan gandum maka roti barley menjadi kurang diminati.
Memang benar mensubtitusi beras dengan sumber makanan pokok lainnya adalah urusan yang sangat panjang, sepanjang peradaban bangsa ini. Serta kelangkaan beras oleh sebagian kalangan dikatakan sebagai amunisi yang dahsyat bagi pecahnya revolusi dari kalangan miskin. Pada tahun 1966, salah satu amanat tritura adalah turunkan harga, termasuk harga beras, Bung Karno jatuh bisa dikatakan karena keadaan perberasan. Demikian pula dengan pemerintahan Pak Harto jatuh karena melonjaknya harga beras yang berlipat ganda. Sejarah juga mencatat kerajaan Jawa ketika pemerintahan Amangkurat I di Mataram jatuh karena masalah pangan, khususnya beras, karena masa paceklik yang panjang menyebabkan kurangnya persediaan beras pada zaman itu. Oleh karena itu pula beras dapat dianggap mewakili bentuk ekonomi Indonesia secara umum, karena pengaruhnya dalam bidang ekonomi dan politik sangat besar.
Pertanyaannya adalah, apakah bangsa ini tidak bersedia belajar dari sejarah perberasan, apakah setiap pemerintahan akan runtuh karena perberasan? Jawabannya adalah meskipun urusan subtitusi beras adalah urusan yang sangat panjang, sepanjang peradaban bangsa ini, bangsa ini harus melakukan langkah awal untuk berubah meninggalkan status quo perberasan. Seperti kata Sir Isaac Newton bahwa benda cenderung menyukai status quo, enggan untuk bergerak. Padahal sebuah kemajuan akan tercapai jika kita bersedia untuk bergerak dan berubah posisi. Langkah awal perubahan posisi adalah merubah dominasi ketergantungan pada satu jenis bahan pangan secara bertahap sehingga kasus hunger paradox tidak perlu tejadi di Indonesia karena subtitusi beras seperti jagung, ubi, singkong dan barley menjadi bahan pangan yang mampu mencukupi ketersedian kalori dan protein diatas kebutuhan gizi sehingga gizi buruk dan busung lapar hilang dari kamus bahasa Indonesia.


Negeri Baru
Pada dasarnya petani selalu dalam posisi lemah, meskipun harga beras dunia melambung tinggi, kita bisa menyimak berita nasional bahwa selalu terjadi ironi bahwa harga gabah dibeberapa daerah mengalami penurunan. Dalam hal ini regulasi dari pemerintah sangat diperlukan dan direpresentasikan pada suatu badan seperti Perum Bulog karena jika melihat kondisi yang ironi seperti ini tidak mustahil petani akan enggan dan berhenti menanam padi. Badan yang meregulasi dan menangani bahan pangan pokok telah dimulai di Indonesia sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda dengan dibentuknya Voeding Middelen Fonds (VMF) Kemudian selama masa pendudukan Jepang diubah menjadi Sangyobu-Nanyo Kohatsu Kaisa.
Selain mengupayakan regulasi sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan pemerintah harus melakukan perlindungan untuk kaum petani dan memajukan sistem pertanian padi sehingga bisa seiring-sejalan antara langkah perubahan untuk kemajuan keragaman sumber daya bahan pangan dan upaya food security. Perubahan paradigma dalam sumber daya pangan nasional dan sistem politik pertanian yang tegas dan konsisten menciptakan Indonesia yang mandiri dalam food security dan menciptakan generasi Indonesia yang tangguh. Cita-cita kemerdekaan yang hakiki seperti pidato Bung Hatta bahwa kemerdekaan berarti mempunyai kekuasaan sendiri, dan dengan kekuasaan itu bangsa ini bisa mengerahkan segenap daya dan upaya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran negeri ini, kemakmuran bukan hanya dalam arti fisik, tapi juga rohani(Kumpulan Pidato III, Inti Daya Press).
Inilah kondisi negeri baru yang mahardhika yang diimpikan para founding father, Indonesia yang tangguh, penuh optimisme, sebagai mercusuar dunia, mampu dalam kemandirian hidup, kebebasan yang bertanggung jawab. Namun semuanya jangan sampai runtuh dari kejayaan dan impian, menjadi puing-puing sinisme dan keputusasaan hanya karena anak bangsa yang telah mahardhika secara politik (political independence) tiada mampu mengelola ketahanan pangan nasional.Bangkitlah Bangsaku!!